Cerpen: Kisah Seorang Tamu yang Tertahan di Ambang Pintu

Kisah Seorang Tamu yang Tertahan di Ambang Pintu

Oleh: Fina Lanahdiana

 

https://pixabay.com/id/photos/pintu-pintu-masuk-batu-jendela-8281982/

Gloria sedang mengamati resep es krim pada sebuah majalah di tangannya, menyocokkan dengan bahan-bahan yang sudah didapatkannya—di meja telah ada susu full cream, gula, ovalet, meizena, dan cokelat bubuk—ketika tiba-tiba seseorang mengetuk pintu. Bila boleh memilih, sesungguhnya ia sedang malas dan tidak berminat menemui siapa-siapa. Tetapi ketukan pintu yang berulang itu membuatnya harus segera mengetahui siapa yang mengganggu hari liburnya. Ia berjalan dengan enggan setelah sebelumnya mengempaskan majalah di atas meja, membetulkan letak kacamata yang menurutnya sedikit lebih buram. Ia lupa telah berapa lama tidak memeriksakan diri ke dokter mata apakah minusnya bertambah atau tidak. Ia tidak yakin harus benar-benar memikirkannya.

            “Apakah Bu Jepi ada?”

            “Maaf, ada perlu apa ya?”

            Perempuan itu sedang berpikir keras sambil meneliti dari ujung kaki sampai ujung kepala seseorang di hadapannya itu, memastikan apakah ia pernah mengenal atau setidaknya mengingat bahwa laki-laki tersebut adalah salah seorang dari teman ibunya. Tetapi belum habis pikirannya itu, tamu tersebut seolah-olah sedang memaksa agar Gloria tidak lama membuang waktu.

            “Kau mengenal Pak Angka?”

            Tentu saja Gloria mengenal seseorang yang disebutkan tamunya. Ia adalah seorang tetangga yang sekaligus ketua RT di kompleksnya.

            “Oh, iya. Tentu saja saya mengenal Pak Angka.” balas Gloria dengan disertai senyuman.

            “Saya ingin menemui Bu Jepi. Apakah ia ada? Saya hendak menawarkan produk kesehatan. Tadi Pak Angka yang mengarahkan saya untuk ke sini.”

            “Mohon maaf, tapi ibu saya …”

            “Kau ini lama sekali sih? Kenapa tak membiarkan saya masuk lebih dulu?”

            Gloria terkejut. Ia benar-benar tidak menyangka seseorang yang tidak dikenalnya itu berani bersuara dengan nada kalimat tinggi. Bagaimana bisa? Seketika darahnya seolah mendidih, naik ke ubun-ubun sehingga kepalanya menjadi hampir pecah. Pada akhirnya ia berpikir untuk tidak memberi kesempatan orang asing itu untuk masuk ke rumahnya. Ia tetap ingin menahan tamu itu di ambang pintu, bahkan jika saja mungkin segera membiarkannya pergi. Sebagai tamu, lelaki itu seolah tidak pernah diajari tata krama yang baik untuk menjadi seorang tamu. Ia seperti musuh yang tiba-tiba menyerang daerah kekuasaan lawan.

            “Maksudmu apa? Bukankah saya sudah bertanya baik-baik? Jika kau bermaksud untuk menemui ibu saya, ia tidak sedang berada di rumah. Ia sedang pergi berbelanja."

            “Siapa di sana, Glo?”

            Suara itu adalah milik ibunya. Tentu saja ibunya ada dan tidak sedang ke mana-mana. Perempuan itu sedang bermain besama kedua cucunya, Satu dan Nara. Gloria agak terkejut bahwa mungkin ibunya mendengar keributan yang dibuatnya. Tapi kini ia benar-benar tidak peduli tentang apa pun yang kelak dipikirkan oleh seseorang di hadapannya itu. Yang ia inginkan saat ini bahwa seseorang itu lekas angkat kaki dan menjauh dari rumahnya. Lagi pula, apakah ibunya telah tampak begitu tua dan sakit-sakitan sehingga Pak Angka membelokkan kaki lelaki itu untuk menjual produk kesehatan di rumanya?

            Belakangan ibunya memang sakit, tapi Gloria sudah membawanya ke dokter dan dinyatakan sembuh. Jika saja kadang-kadang masih diserang sakit, sakitnya tidak jauh dari nyeri sendi dan gejala penuaan yang lainnya.

            “Glo?”

            Suara ibunya kembali terdengar. Kali ini lebih pelan daripada sebelumnya.

            “Maaf, saya sedang sibuk dan sedang tidak bisa diganggu. Selamat sore.”

***

            “Apa yang terjadi, Glo? Kudengar ada keributan di depan. Kenapa kau menolak tamu itu?”

            “Tamu apa? Ia seseorang yang tak tahu diri.”

            “Tidak boleh begitu,”

            “Bagaimana mungkin aku tidak jengkel jika aku sudah menanyainya baik-baik tetapi yang terjadi selanjutnya bahwa ia marah-marah karena aku tidak segera membawanya masuk? Lagi pula, seharusnya ia lulus training sebelum terjun ke lapangan menjadi seorang sales kesehatan. Tentang bagaimana beramah-tamah dengan calon pelanggan. Tidak seharusnya ia marah-marah kepada calon pelanggan hanya karena aku tidak segera membawanya masuk ke dalam rumah, sementara ia begitu tidak jelas dan mencurigakan. Mungkin saja sebenarnya ia adalah penipu.”

            “Hus!”

            “Adakah yang tampak lebih mencurigakan daripada seorang tamu yang memaksa ingin masuk, sementara si pemilik rumah masih bertanya hal-hal permukaan yang memang seharusnya ditanyakan?”

            “Siapa sih, Ma?”

            Itu adalah suara Satu. Ia begitu lucu dengan pipi gembil dan kacamata bulat berlensa tebal di wajahnya, meskipun masih duduk di bangku kelas dua sekolah dasar.

            “Bukan siapa-siapa, Kak. Hanya tamu. Ya, hanya tamu.”

Panggilan 'Kak' kepada Satu memang telah dibiasakan Gloria untuk mengenalkan bahwa bocah itu adalah seorang kakak dari adiknya, Nara.

            “Mama bohong. Jika ia seorang tamu, kenapa Mama tidak membiarkannya masuk?”

            “Tidak, Kak. Saat ini Mama sedang sibuk. Lagi pula, Nenek atau tidak siapa pun di rumah ini membutuhkan obat dari sales kesehaan yang tak tahu diri itu.”

            “Tidak boleh seperti itu, Ma.”

            Mengendalikan kemarahan memang tidak semudah kelihatannya. Ia ingat bagaimana mengajari Satu agar tidak menjadi seseorang yang pemarah, melainkan menjadi seseorang yang mudah memaafkan. Gloria merasa diserang tanpa bisa melawan dan hanya bisa menghela napas karena menyadari kesalahannya.

            “Baiklah, Kak. Kali ini Mama salah. Mama minta maaf ya. Sebagai permintaan maaf, Mama akan melanjutkan membuat es krim untuk kita nikmati bersama. Oke?”

            “Oke!”

            Sementara Nara belajar berjalan sambil masih merambati dinding dengan dijaga oleh neneknya, Gloria pergi ke dapur untuk kembali bergelut dengan bahan-bahan pembuat es krim. Sesampainya di dapur, ia mengembuskan napas kuat-kuat, seolah hendak memulai sebuah pertarungan. Anak pertamanya mengikuti di sampingnya dan telah heboh hendak membantu. Tentu saja Gloria tidak mengizinkan bocah itu semakin membuat segalanya menjadi kacau.

            “Kakak main bareng Dik Nara ya.”

            Beruntung bahwa bocah itu menurut dan segera meninggalkan Gloria di dapur sendirian.

“Apakah kau baik-baik saja, Glo?”

Suara itu tampak berusaha agar lebih keras untuk dapat menjangkau telinga Gloria yang kini sedang berada di dapur, sementara ibunya berada di ruang TV bersama dua cucunya.

            “Tentu saja. Memangnya kenapa, Bu?”

            “Aku hanya memastikan bahwa kau tidak akan sembarangan mencampur bahan-bahan, juga takarannya. Kuharap kau juga tidak melibatkan kemarahanmu ke dalam adonan.”

            Gloria mengernyit, lantas membatin. Memangnya apa hubungannya kemarahan dan adonan? Toh bahan-bahan masakan hanyalah benda mati yang tak akan protes bahkan jika perempuan itu salah dalan mencampur dan menakarnya.

            “Kau dengar Ibu, Glo? Setiap benda-benda, baik benda mati sekali pun, tetap punya kemampuan meyerap dan merekam peristiwa di sekitarnya. Kau pernah mendengar kisah tentang sebatang pohon yang lama kelamaan mati hanya karena dimaki terus menerus?”

            Kalimat itu segera menarik Gloria untuk sejenak berpindah dari dapur menuju ibunya. Ia ingin mendengar lebih banyak lagi tentang kisah yang dimaksud ibunya.

            “Aku belum pernah mendengarnya,”

            “Orang-orang di kepulauan Solomon yang melakukannya. Mereka menggelar tradisi meneriaki pohon-pohon besar agar cepat mati. Tak lain karena agar lebih mudah untuk ditumbangkan. Seseorang akan memimpin dengan cara naik ke puncak pohon, sementara penduduk lain tetap di bawah, dan mereka memaki pohon itu dengan hinaan paling kejam secara bersama-sama. Seolah ruh di dalamnya telah hilang, daun-daun akan mulai layu dan kering, hingga akhirnya pohon itu benar-benar mati.”

            “Itu terdengar mengerikan.”

            “Begitu juga ketika tanpa kau sadar telah memarahi anakmu. Akan ada sel-sel yang rusak sehingga pertumbuhannya tidak sempurna. Kau mungkin tidak berniat memarahi anakmu, tapi siapa yang bisa menunggu kemarahan? Kadang-kadang ia datang tanpa dapat dicegah dan buru-buru menumbangkan apa-apa yang ada di sekitarnya.”

            “Bu?”

            “Aku tidak bermaksud apa-apa, Glo. Kau juga harus pandai memilih bahasa, karena anak-anak adalah peniru yang baik. Bahkan jika kau tak pernah mengajarinya sekali pun. Ia tetap akan meniru setiap yang dilihat atau didengarnya. Tidak ada upaya terbaik selain mencegah agar kekacauan tidak terjadi.”

            “Apakah sebaiknya aku tidak membuat es krim?”

            Ibunya tertawa, “Tentu saja kau harus tetap membuatnya. Jangan lupa tambahkan kesabaran dalam adonan es krim buatanmu.”

            Gloria masih mencerna nasihat ibunya perihal menambahkan kesabaran ke dalam adonan es krim, ketika tiba-tiba sepasang lengan renta ibunya merengkuh tubuh Nara ke dalam dekapan. Bocah itu baru saja jatuh terduduk. Neneknya tahu, ia hanya perlu untuk memeluk bocah itu tanpa perlu berteriak histeris—meskipun dimaksudkan untuk menyesali kecerobohannya—yang justru akan membuat kaget telinga mungil milik Nara, sehingga kelak hanya akan membuatnya menangis lebih keras.

            Menyaksikan pemandangan itu, dada Gloria terasa selapang padang rumput disertai angin sejuk. Burung-burung kecil terbang. Langit biru. Matahari hangat. Bibirnya menyunggingkan senyum, sementara sepasang matanya seolah kaca-kaca air hampir pecah.[]

***

Biodata:


Fina Lanahdiana, lahir dan tinggal di Kendal. Beberapa karyanya termuat di media Republika, Media Indonesia, Suara Merdeka, serta beberapa media digital. Saat ini mengelola blog pribadi www.filadina.my.id. Ia akan senang disapa melalui IG @filadina. 


Komentar