![]() |
Rendra dan Mempertimbangkan Tradisi
Sebuh pandangan atas pandangan Rendra terhadap tradisi
dalam konteks kebudayaan dan modernisme di Indonesia.
Oleh: KelanA*
Kemarin dan esok
adalah hari ini
bencana dan
keberuntungan sama saja
Langit di luar, Langit
di badan, Bersatu
dalam jiwa Rendra
Pendahuluan
RENDRA adalah seorang sastrawan dan budayawan Indonesia yang
dikenal memiliki pandangan mendalam tentang kebudayaan, termasuk tradisi dan modernisme. Dalam pemikirannya, Rendra
melihat tradisi bukan sebagai
sesuatu yang kaku dan mati, melainkan sebagai
alat hidup yang dinamis, yang dapat
membantu pertumbuhan dan perkembangan masyarakat. Makalah ini membahas
bagaimana Rendra mempertimbangkan tradisi dalam konteks kemajuan dan perubahan
sosial di Indonesia.
Konsep Kebudayaan dan Tradisi Menurut
Rendra
Menurut Rendra, kebudayaan adalah
hasil buah alam pikir manusia yang terbentuk dari aturan hidup bersama
dan dipengaruhi oleh proses pergaulan global. Kebudayaan bukan
benda mati, melainkan sebuah dinamika yang tumbuh dan
berkembang. Rendra berpendapat bahwa tidak ada jati diri atau kepribadian asli
suatu bangsa yang tetap; jati diri itu terbentuk dari bagaimana bangsa tersebut
merespons tantangan dan kebutuhan hidupnya.
Dalam hal ini, tradisi adalah
salah satu unsur kebudayaan
yang harus dipandang sebagai alat yang dapat melayani kehidupan manusia dalam
konteks modern.
Rendra menempatkan tradisi dan modernisme dalam posisi
yang saling melengkapi. Ia percaya bahwa kemajuan teknologi dan sains modern
tidak harus mengesampingkan kekayaan pengetahuan tradisional. Sebaliknya, kedua
aspek ini dapat berjalan berdampingan untuk membentuk kepribadian kebudayaan
Indonesia yang ideal. Konsep modernisme menurut Rendra adalah kemampuan
menjawab kebutuhan bangsa terhadap dampak globalisasi industri dan teknologi,
sementara mempertimbangkan tradisi berarti memilih aspek tradisi yang berguna
sebagai alat membantu kehidupan manusia.
Dalam pemikiran Rendra, manusia adalah eksistensi yang
terus berkembang dan berubah ("becoming"). Kebudayaan dan manusia
adalah gabungan antara "kemungkinan" dan "keterbatasan".
Kemungkinan mengacu pada potensi perkembangan menuju kemajuan dinamis,
sedangkan keterbatasan
merupakan batasan yang harus
diperhitungkan dalam pembentukan identitas manusia dan kebudayaan.
Dengan demikian, mempertimbangkan tradisi berarti melihat tradisi sebagai
kemungkinan yang dapat diolah dan dikembangkan sesuai kebutuhan zaman.
Tradisi dalam Teater
Rendra
Dalam teater Rendra, tradisi dipandang
sebagai wadah untuk kegiatan kreatif. Rendra menganggap tradisi bukan hanya
sebagai sesuatu yang statis, melainkan
bisa berkembang dan diperbesar
agar ikut mengalami kemajuan. Ia mengambil elemen-elemen dari tradisi lokal,
khususnya tradisi Jawa dan Bali, dan menggabungkannya dengan pengalaman teater
modern yang ia pelajari, sehingga tercipta
bentuk teater yang sesuai
dengan naluri bangsa
dan mampu membahas
persoalan baru dalam kehidupan
masyarakat.
Rendra menolak pandangan tradisi
sebagai sesuatu yang kaku; ia menggunakan tradisi sebagai media berekspresi dan bereksperimen. Teater yang dibangunnya, Bengkel Teater, sering menggabungkan
unsur tradisional dengan modern, seperti penggunaan estetika dan gerak dari
tradisi Jawa serta tema- tema modern yang relevan.
Ia juga memperkenalkan metode bermain seperti Mini Kata
yang mengedepankan improvisasi dan gerak estetis sebagai pengembangan dari
tradisi. Dengan demikian, tradisi dalam teater Rendra adalah sebuah
kerangka yang hidup dan dinamis,
yang tidak sekadar
melestarikan bentuk lama tetapi juga mengajak tradisi itu untuk melangkah
maju dan relevan dengan zaman modern.
Hal
ini terlihat dari karya-karyanya yang mengolah teater
tradisional seperti ketoprak
dengan gaya modern dan lokal
yang kental, serta penggunaan kostum lokal yang inovatif dalam pementasan karya
sastra klasik dunia. Pendekatan ini tidak hanya melestarikan tradisi, tetapi
juga memperkaya dan mereformasinya sesuai kebutuhan masyarakat kontemporer.
Tradisi dalam Puisi
Rendra
Melalui simbol, puisi menampilkan
makna yang tidak langsung, menghubungkan unsur budaya dan tradisi dengan pesan
yang bersifat kultural, moral, dan religius. Misalnya, simbol benda, alam, atau
fenomena yang digunakan Rendra seringkali berfungsi sebagai representasi nilai
tradisi, norma, dan kepercayaan yang hidup dalam masyarakat.
Majas seperti metafora, personifikasi, dan hiperbola
sangat berperan dalam memperkuat pengungkapan nilai-nilai tradisi ini. Majas
metafora misalnya, memperbandingkan dua unsur yang berbeda tetapi memiliki
makna yang sejalan secara simbolis untuk menggambarkan aspek-aspek tradisi yang kaya dan dinamis.
Melalui majas personifikasi, nilai tradisi dikaitkan
dengan keyakinan dan hubungan
manusia dengan Tuhan serta masyarakat, memberi nilai religius yang kuat dan
menggambarkan tradisi sebagai sesuatu yang hidup dan terjalin dalam kehidupan
sosial. Dengan gaya bahasa yang penuh majas ini, Rendra tidak hanya melestarikan nilai-nilai tradisional tetapi juga mengubahnya menjadi
pesan estetis dan reflektif
yang relevan bagi pembaca masa kini.
Jadi,
simbol dan majas pada puisi
Rendra berfungsi sebagai
alat pengungkapan yang memperkaya
nilai tradisi dengan dimensi moral, religius, dan budaya, sekaligus menciptakan
ruang interpretasi yang membuka pemahaman mendalam terhadap tradisi dalam
konteks modern.
Nilai tradisi dalam karya sastra atau
puisi Rendra tercermin melalui simbolisme, nilai
kehidupan, dan refleksi budaya yang kaya. Rendra menggunakan tradisi sebagai
sumber inspirasi yang diperkaya dengan makna universal, menjadikan tradisi
bukan hanya sebagai warisan budaya, tetapi juga sebagai medium untuk
menyampaikan pesan-pesan kemanusiaan dan sosial. Dalam puisinya, Rendra sering
memakai simbol-simbol tradisional serta metafora yang berasal dari kehidupan
dan budaya lokal untuk mengekspresikan nilai-nilai seperti perjuangan, keadilan
sosial, harapan, dan tanggung jawab.
Contohnya, dalam puisi "Sajak Matahari," ia menggunakan simbol matahari untuk melambangkan
kekuatan batin dan potensi manusia yang harus dipelihara dan digunakan dengan
bijak. Melalui pendekatan ini, puisi-puisinya tidak hanya mengandung nilai
estetika tetapi juga mencerminkan norma, etika, dan nilai budaya tradisional
yang relevan dengan kondisi masyarakat modern. Rendra juga mengekspresikan
keberpihakannya kepada rakyat dan nilai-nilai kemanusiaan yang berakar pada tradisi, menjadikan karya-karyanya
sebagai jembatan antara tradisi dan tuntutan zaman baru.
Dengan demikian, nilai tradisi dalam
karya sastra Rendra adalah sebagai fondasi untuk refleksi sosial, kritik
terhadap ketidakadilan, dan pengembangan kesadaran budaya serta kemanusiaan
yang dinamis dan kreatif.
Contoh puisi Rendra yang
sangat dipengaruhi oleh nilai tradisi adalah puisi "Seruan kepada Leluhur
Nusantara" yang memuat seruan kepada leluhur Nusantara seperti Sanjaya dan
Purnawarman.
Puisi
ini menggunakan simbol
leluhur sebagai representasi kebijaksanaan dan kearifan
lokal yang menjadi fondasi nilai-nilai tradisi budaya
Nusantara. Dalam puisi tersebut, Rendra
mengangkat tatanan hidup yang
dijaga oleh hukum adat serta memperlihatkan konflik antara nilai tradisional
dengan kekacauan dan ketidakadilan dalam masyarakat modern.
Selain itu, karya-karya seperti "Kesaksian Tahun
1967" dan "Nyanyian Angsa" juga menampilkan kritik sosial
yang mengangkat isu kebudayaan, agama, dan tradisi sebagai nilai yang harus
dipertahankan dan direfleksikan ulang. Dalam puisi-puisi ini, simbol dan majas
digunakan untuk menghidupkan nilai tradisi dan norma kultural yang berakar kuat dalam masyarakat Indonesia, namun dibingkai
dengan kritik terhadap
penindasan dan ketidaksesuaian dalam konteks hidup modern.
Puisi-puisi tersebut
menunjukkan bagaimana Rendra tidak hanya melestarikan nilai tradisi tetapi juga menggunakan tradisi sebagai
sarana kritis untuk menyuarakan suara kemanusiaan dan keadilan sosial, sehingga
tradisi menjadi kekuatan yang hidup dan relevan dalam karya sastranya.
Puisi-puisi W.S. Rendra yang mengandung nilai tradisi Jawa,
seperti "Sajak Seorang
Tua di Bawah Pohon,"
merefleksikan kedekatannya dengan spiritualitas dan etika Jawa. Dalam puisi
tersebut, Rendra menggambarkan sosok seorang tua yang berdiri sebagai saksi
sunyi atas kekerasan dan ketidakadilan, melambangkan konsep prihatin dalam
tradisi Jawa—menanggung penderitaan demi menjaga kemurnian hati dan batin yang jernih
sebagai inti kebenaran moral. Puisi itu mengekspresikan perlawanan yang
berbasis pada kebijaksanaan batin dan welas asih, bukan konfrontasi destruktif, sesuai dengan
ideal Jawa tentang ksatria
pinandita, yaitu perpaduan keberanian dan kebijaksanaan.
Rendra menggunakan simbol dan majas untuk
mengangkat nilai-nilai tradisi
Jawa seperti dharma (kewajiban moral), rasa manembah
atau pengabdian kepada nilai spiritual dan keseimbangan alam, serta
kesadaran kosmis yang mengajak manusia bertanggung jawab menjaga harmoni
kehidupan. Misalnya, simbol kesunyian spiritual
di gunung tinggi
dan jerit makhluk
kecil dalam puisi-puisinya menjadi metafora bagi
keutuhan dan keberlanjutan budaya serta alam semesta secara keseluruhan.
Dengan gaya bahasa yang mengandung
kekayaan simbol dan majas, Rendra membangun puisi yang tidak hanya mengekspresikan kritik sosial, tetapi juga memperjuangkan nilai-nilai
luhur tradisi Jawa sebagai fondasi
moral dalam menghadapi modernitas dan ketidakadilan sosial. Puisi-puisi ini
menjadi ajaran kebijaksanaan Jawa yang relevan dengan konteks sosial dan budaya
zaman sekarang, mengajak pembaca untuk kembali pada kekuatan batin dan nilai
spiritual yang mendalam.
Kritik Sosial dan Perlawanan
Rendra juga dikenal sebagai
tokoh yang menggunakan karya-karyanya untuk mengkritik keadaan sosial-politik dan mengajak generasi muda melakukan
perlawanan terhadap elitis yang merusak bangsa. Dalam konteks ini, mempertimbangkan tradisi bukan hanya soal melestarikan nilai-nilai lama,
tetapi juga sebagai bentuk perlawanan budaya yang juga menerima kemajuan
modern yang bermanfaat.
Penutup
Pemikiran Rendra tentang tradisi
memberikan pemahaman bahwa tradisi bukanlah
warisan mati yang harus
dipertahankan tanpa perubahan, melainkan warisan yang harus dipertimbangkan secara kritis dan
adaptif agar dapat terus berperan
dalam pembangunan kebudayaan dan identitas bangsa Indonesia yang dinamis dan maju.
*Penulis adalah pejalan
malam, anggota Lembaga
Sastra Rakyat (LeSTRA)
dan pendiri SINDIKAT
BUDAYA

Komentar
Posting Komentar